Skip to main content

KETIDAKADILAN GENDER DALAM PENDIDIKAN (studi kasus: pelajar hamil dikeluarkan dari sekolah)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Isu gender menjadi penting dan merupakan istilah yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Dewasa ini gender telah memasuki perbendaharaan di setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembangunan. Demikian juga di Indonesia,  hampir semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun  pembangunan di kalangan organisasi non pemerintah memperbincangkan masalah  gender. Namun dari pengamatan, masih banyak terjadi kesalahpahaman tentang  apa  yang dimaksud dengan konsep gender dan  kaitannya  dengan perjuangan  perempuan  untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan.
Fenomena hamil diluar nikah menjadi sebuah keprihatinan tersendiri di kalangan masyarakat, khususnya pada dunia pendidikan yang tak jarang terjadi di sekolah. Ini memang gejala di dalam masyarakat akibat sosialisasi yang tak sempurna dan perubahan sosial yang begitu cepat dan belum bisa diimbangi dengan kecepatan masyarakatnya dalam mengikuti arus sosial tersebut. Kasus siswi hamil maupun siswa yang menghamili menyangkut kepentingan dia dan orangtuanya di satu pihak serta kepentingan lembaga sekolah di pihak yang lain. Siswa maupun siswi dan orangtuanya dihadapkan pada pilihan antara anak yang masih remaja yang masih berkewajiban mempersiapkan diri untuk masa depannya dengan pilihan harus menghentikan (sementara) pendidikannya. Di pihak lain,sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mempunyai tugas mulia untuk mendidik generasi muda, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan,ketrampilan maupun nilai-nilai kehidupan yang relevan, agar orang-orang muda tersebut berkembang menjadi orang dewasa yang sesuai harapan.
Kebanyakan pada kasus yang terjadi, ketika ada pelajar yang hamil pihak sekolah mengambil kebijakan untuk mengeluarkan pelajar tersebut dari sekolah, tanpa melihat sebab kehamilannya. Sedangkan siswa yang menghamili tidak dapat tindakan, dalam peraturan sekolah tersebut. Seperti yang terjadi pada kasus diSagatta KUTIM, pelajar dikeluarkan karena hamil (Balikpapan post, senin 7/11). Hal ini merupakan pemutusan hak belajar bagi seorang siswi yang hamil, sedang dalam UUD 1945 Pasal 31 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Berdasarkan kasus diatas, yang akan kami bahas dalam makalah adalah analisis studi kasus pelajar yang dikeluarkan dari sekolah karena hamil berdasarkan UUD 1945 dan konvensi CEDAW tahun 1981.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.        Apa pengertian gender dalam pendidikan ?
2.        Bagaimana analisis kasus berdasarkan konvensi cedaw tahun 1981 ?

C.     Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas tujuan adalah sebagai berikut :
1.        Mengetahui pengertian gender dalam pendidikan
2.        Mengetahi analisis kasus siswi hamil yang dikeluarkan dari sekolah berdasarkan konvensi cedaw




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan
Gender sering di sama artikan dengan jenis kelamin (sex).  Dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas,dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4).Sedangkan seks (jenis kelamin) perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas anatomi biologis dan merupakan kodrat Tuhan. Dapat dikatakan disini bahwa makna dari keduanya berbeda. Disimpulkan bahwa gender merupakan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang dilihat dari segi social-budaya, perilaku, mentalitas, emosi,dan factor-faktor lainnya.
Kesetaraan gender adalah kondisi dimana perempuan dan laki laki untuk memperoleh kesempatan dan hak haknya bersifat sama. Hak-haknya disini seperti berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, serta peranan-peranan yang lainnya. Kesetaraan gender juga dapat diartikan sebagai cara menghilangkan bentuk diskriminasi dan ketidakadilan, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Kesetaraan gender disini berlaku untuk perempuan dan laki-laki. Tetapi kaum perempuan disini lebih ditonjolkan karna banyaknya diskriminasi terhadap kaum perempuan,maka dari itu kaum perempuan disamakan/disetarakan kesempatannya dengan laki-laki.
Kesetaraan gender dalam pendidikan adalah realitas pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu sehingga menyebabkan ketimpangan gender. Adanya ketimpangan gender didalam pendidikan tersebut mengakibatkan anak-anak perempuan tidak memiliki hak penuh dalam mengenyam pendidikan. Dalam pendidikan kaum laki-laki lebih ditonjolkan karna guru kadangkala cenderung berpikir ke arah “self fulfilling  prophecy” terhadap siswa perempuan karena menganggap perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi.
Pengertian Pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”. M.J. Longeveled bahwa Pendidikan merupakan usaha , pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa didalam suatu Negara pendidikan merupakann hal yang wajib diikuti oleh seluruh masyarakat demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti yang terlampir dalam pasal 31 UUD 1945. Bunyi pasal 31 UUD 1945:
(1)   Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2)   Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3)   Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang undang.
Dengan adanya pasal tersebut menguatkan bahwa seseorang, siapapun itu,bagaimana latar belakang keluarganya, apapun gendernya, semua berhak mendapatkan pendidikan. Karena telah tercantum didalam UU yang berlaku bahwa semua warga Negara wajib mengikuti sebuah pendidikan dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun kenyataan mengenai pendidikan di Negara kita ini sangatlah tidak menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan dimasyarakat. Banyaknya perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam pendidikan. Seperti halnya dalam mata pelajaran tertentu seorang wanita tidak dapat mengikuti pelajaran tersebut karna hanya diperuntukkan kepada pihak laki-laki.
B.     Analisis Kasus Berdasarkan Konvensi CEDAW tahun 1981
Sebagaimana pada kasus yang telah terlampir, dimana kasus kesetaraan gender dalam pendidikan. Yaitu “pelajar dikeluarkan karena hamil”, sedangkan dalam berita tersebut tidak disebutkan apakah laki-laki yang menghamili mendapat tindakan atau tidak. Yang dibahas dalam kasus berikut yang dilansir oleh balikpapanpost (7/11) adalah dikeluarkannya seorang siswi dari sekolah karena hamil dan orang tua tidak terima lalu melaporkan pihak sekolah ke polisi.
Kasus ini menunjukkan bahwa adannya perbedaan hak didalam mendapatkan pendidikan antara perempuan dan laki-laki. Yang mana ketika seseorang anak perempuan yang hamil akibat kecelakaan/diluar nikah dikeluarkan dari sekolah sedangkan laki-laki sebagai pelakunya tidak dikeluarkan dari sekolah. Ini membuktikan bahwa hak hak perempuan dalam mengenyam pendidikan tidak setara dengan laki-laki. Mengapa hanya anak perempuan saja yang menanggung beban/sanksi karna tindakan/perbuatan yang ia lakukan,kenapa pihak laki-laki disitu tetap bisa melanjutkan pendidikan. Padahal belum tentu perubuatan/tindakan tersebut diingankan oleh pihak perempuan, bisa saja itu adalah kehendak/paksaan dari laki-laki, atau tidak karena tindakan criminal seperti pemerkosaan. Seharusnya ketika seorang anak laki-laki tersebut masih dapat melanjutkan pendidikannya maka anak perempuan tersebut juga dapat melanjutkan pendidikannya,walaupun mungkin sedikit terhenti karna kehamilannya. Bukan malah tidak dibolehkan lagi mengikuti proses pendidikan. Di dalam pendidikan sebagaimana yang terdapat pada pasal 10 konvensi CEDAW tahun 1981 yang berisi:
 “Negara-negara Peserta wajib melakukan segala langkah-tindak yang diperlukan untuk menghapus  diskriminasi terhadap perempuan untuk menjamin bagi mereka hak-hak yang setara dengan laki-laki dalam bidang pendidikan dan khususnya untuk menjamin, atas dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan”
Telah dijelaskan dalam pasal tersebut Negara/institusi pendidikan wajib menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan sehingga dapat menjamin hak mereka bisa setara dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama. Yaitu mendapatkan pendidikan dalam upaya mencerdaskan dan  mensejahterahkan kehidupan bangsa. Kalau saja diskriminasi terhadap perempuan ini terus dijalankan, maka banyak penerus-penerus bangsa yang nantinya tidak dapat mengembangkan Negara ini karena kurangnya pendidikan yang mereka terima. Negara juga berkewajiban untuk mengurangi tingkat putus sekolah pelajar perempuan. Sebagaimana pendidikan merupakan salah satu penunjang seseorang dapat melakukan sesuatu dengan lebih baik dan terjamin. Disini perlu adanya kebijakan dari institusi pendidikan untuk memberikan jalan keluar yang baik, ketika sesorang perempuan tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena kebijakan sekolah yang tidak dapat diganggu gugat yang mana melarang anak perempuan yang telah hamil diluar nikah mengikuti proses pendidikan disekolah, maka alangkah baiknya mereka disediakan tempat seperti halnya pendidikan tetapi diluar sekolah, sebagaimana dimaksud dalampasal 10 point f konvensi CEDAW tahun 1981 yang berisi:
“Pengurangan tingkat putus sekolah pelajar perempuan dan menyelenggarakan progam program  bagi anak perempuan dan perempuan dewasa yang berhenti bersekolah sebelum waktunya;”
Tetapi sebaiknya  ketika seorang anak perempuan tersebut tetap diperbolehkan mengikuti proses pendidikan sebagaimana mestinya. Jika hal tersebut tidak diperbolehkan untuk anak perempuan yang telah hamil diluar nikah,maka institusi pendidikan tersebut harus menjamin bahwa anak tersebut tetap menadapatkan pendidikan sebagaimana mestinya walaupun dia tidak dapat mengikuti proses pembelajaran/ pendidikan disekolah. Seperti halnya menyelanggarakan program-program pendidikan untuk para anak perempuan putus sekolah dengan membangun suatu lembaga perempuan yang didalamnya tetap mengajarkan pendidikan-pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan di institusi pendidikan/sekolah. Dengan adanya hal ini, dimungkinkan bahwa seseorang anak perempuan yang putus sekolah,tetap dapat mengikuti pendidikan dengan baik. Sehingga ketika dia terjun dimasyarakat dia telah memiliki bekal-bekal ilmu pengetahuan yang ada. Tidak menutup kemungkinan bahwa mereka yang putus sekolah tersebut bisa bersaing dengan para lelaki ataupun perempuan yang mengenyam pendidikan di sekolah.
Sama halnya ketika kasus anak perempuan yang sudah menikah tidak dibenarkan mengikuti atau melanjutkan pendidikan di SMP atau SMA. Apa yang mereka bedakan antara anak perempuan yang sudah menikah dengan yang belum menikah. Bukannya hak dan kewajiban didalam pendidikan mereka adalah sama. Kenapa masih diberlakukannya aturan seperti itu. Sama halnya ini adalah bentuk diskriminasi terhadap anak perempuan. Anak perempuan yang sudah menikah juga memiliki hak untuk mendapatkan dan mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Ini yang masih menjadi permasalahan dimasyarakat yang mana ketika seorang anak perempuan telah menikah maka dia tidak perlu lagi mengenyam pendidikan atau dalam hal ini putus sekolah , karena tanggung jawab atas kebutuhan hidupnya telah tertanggung/ditanggung jawabkan kepada pihak laki-laki. Pekerjaan yang harus mereka kerjakan hanyalah mengurus rumah sebagai tanggung jawab seorang perempuan. Tetapi ketika seorang anak perempuan yang telah menikah dan tidak mendapatkan pendidikan yang baik, dimana dia dihadapkan kepada persoalan yang mana dia tidak mendapatkan perlakuan yang baik oleh pihak laki-laki (suami) seperti halnya kekerasan, ditinggalkan oleh pihak laki-laki/ diceraikan bagaimana seorang anak perempuan tersebut bisa melanjutkan hidupnya tanpa adanya kemampuan/ ilmu ilmu pengetahuan yang dia miliki. Seharusnya institusi/Negara tetap memperbolehkan mereka untuk melanjutkan pendidikan yang semestinya dia dapatkan. Bagaimana Negara ini mau maju, ketika seorang anak perempuan seperti itu yang berkemungkinan mereka berpotensi tidak diberikan haknya sebagai warga Negara didalam pendidikan. Seperti halnya yang telah diatur didalam pasal 10(f) yang mana :
“Pengurangan tingkat putus sekolah pelajar perempuan dan menyelenggarakan progam-program bagi anak perempuan dan perempuan dewasa yang berhenti bersekolah sebelum waktunya”
Maka cacatlah institusi pendidikan dinegara kita. Negara seharusnya bertindak untuk mengurangi angka putus sekolah pelajar perempuan. Akibat dari banyaknya angka putus sekolah pada perempuan akan terlihat ketika suatu Negara akan mengalami kerusakan akibat ulah para laki-laki yang tidak bisa mengontrol emosi mereka,sehingga berdampak kepada suatu Negara, para perempuan tidak akan bisa membantu karena hak mereka yang terdahulu mengenai pendidikan telah dihilangkan karna suatu hal tertentu,maka dari itu para perempuan tidak memiliki kemampuan yang setara terhadap laki-laki karena diskriminasi yang terjadi. Ketika para laki-laki sudah tidak bisa mengendalikan Negara ini, siapa yang akan menjalankannya. Sedangkan perempuan masih belum mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki. Dengan adanya kasus seperti ini seharusnya memberikan pemikiran yang baru terhadap Negara/institusi pendidikan agar memberikan solusi terbaiknya terhadap diskriminasi kepada pihak perempuan yang dirugikan didalam lembaga pendidikan. Yang mana mereka tidak membedakan status seseorang dalam mendapatkan sebuah proses pendidikan. Agar tidak banyaknya masyarakat kaum perempuan baik dikota maupun didesa yang tidak pernah menyentuh/ mengenyam sebuah pendidikan. Sehingga siapun,dimanapun seseorang baik kaum laki-laki dan perempuan bersama- sama mengembangkan Negara  ini dengan baik,dalam hal perkembangan pendidikan yang ada setingi-tinginya tanpa mengenal adanya perbedaan gender tersebut sehingga tidak ada yang dirugikan. Dengan adanya non-diskriminasi ini maka hak-hak seorang perempuan tidak dihalangi oleh hak laki-laki yang membedakan, karena sifatnya yang setara/sama. Negara juga akan mendapatkan dampak yang positif karena hal tersebut.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya kesimpulan yang dapat kami ambil adalah :
1.      Kesetaraan gender dalam pendidikan adalah realitas pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu sehingga menyebabkan ketimpangan gender. Adanya ketimpangan gender didalam pendidikan tersebut mengakibatkan anak-anak perempuan tidak memiliki hak penuh dalam mengenyam pendidikan.
2.      Kebijakan sekolah untuk mengeluarkan siswi perempuan karena hamil diluar nikah telah melanggar Konvensi CEDAW tahun 1981. Karena mengeluarkan siswi karena hamil merupakan pemutusan hak belajar bagi perempuan dan menghambat perempuan untuk setara dengan laki-laki, sebab pendidikan merupakan cara untuk membuat perempuan bisa setara dengan laki-laki.
B.     Saran

Saran yang kami berikan untuk kebijakan tersebut adalahsebaiknya pihak sekolah tetap memberikan hak belajar pada siswi yang hamil meskipun dia tidak bisa mengikuti pelajaran dengan sebagaimana mestinya, karena seluruh warga negara berhak mendapat pendidikan walaupun dia dalam keadaan hamil.

Comments