Skip to main content

Budaya Politik Masyarakat Indonesia di Era Reformasi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pendahuluan
            Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak aliran perilaku (behavioralism). Namun istilah ini mengandung kontroversial karena tidak jelas konsepnya. Para pengkritiknya menyebutkan, penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep menjelaskan fenomena politik.
            Namun demikian dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, istilah ini kerap kali digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok.
            Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari suatu sistem dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Kehidupan suatu negara tidak terlepas dari kegiatan politik. Kegiatan politik yang identik dengan kekuasaan dalam kehidupan bernegara dilaksanakan untuk mencapai tujuan bersama.
            Perkembangan politik dalam suatu negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan budaya yang ada dalam masyarakat negara tersebut. Pendidikan dan pemahaman politik masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan budaya politik di Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Perkembangan budaya politik di wujudkan dengan terciptanya partai-partai politik. Partai politik selalu berusaha untuk merebut simpati rakyat dalam kegiatan pemilu yang bertujuan untuk menempatkan orang-orang partainya dalam pemerintahan yang tidak bertentangan dengan ideologi negara dan UUD 1945. Untuk itu, agar masyarakat memiliki pandangan politik yang sesuai, sosialisasi politik dilakukan sesuai dengan kondisi dan perkembangan lingkungan yang ada. 
            Semakin stabil pemerintahan, semakin mudah untuk melakukan sosialisasi politik. Pada prinsipnya, tidak ada perubahan yang sempurna, tetapi kita harus berusaha agar perkembangan budaya politik berkembang sesuai dengan yang diharapkan, untuk mencapai kepentingan bersama, sehingga masyarakat yang memegang peranan penting dalam perkembangan budaya politik suatu negara mampu berpartisipasi dalam kehidupan politik.
            Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih memilih pempinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Partisipasi politik masyarakat sangat membantu berkembangnya budaya politik dalam suatu negara.

B.     Rumusan Masalah
Batasan yang kami ungkapkan dalam rumusan masalah antara lain:
1.      Apa pengertian budaya pulitik ?
2.      Apa budaya politik budaya politik yang berkembang dalam masyarakat indonasia ?
3.      Budaya politik apa yang pernah diterapkan Indonesia sebelum reformasi?
4.      Budaya politik apa yang diterapkan Indonesia pada era reformasi ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tinjauan Teori
            Teori yang digunakan dalam pembahasan adalah “Civic Culture” yang dikemukakan oleh Gabriel A. Almond dan Sidney Verba (1963), yang mana dalam teori ini Almond dan Verba menjelaskan bahwa budaya politik (civic culture) merupakan suatu kultur yang tidak bersifat tradisional maupun modern, melainkan bagian dari keduanya maksudnya, budaya politik merupakan kebudayaan majemuk yang didasarkan komunikasi dan persuasi, budaya consensus dan diversitas, serta adanya perubahan (Almond & Verba, 1963). Budaya politik itu juga erat kaitannya dengan sikap dan tingkah laku individual dalam system politik. Pembahasan. Banyak yang beranggapan bahwa teori “Civic Culture” yang dikemukakan Almond dan Verba sangat sederhana untuk membaca kultur, norma dan tingkahlaku masyarakat yang begitu komleks. Almond dan Verba dalam “Civic Culture” juga menjelaskan budaya politik diartikan sebagai orientasi dasar suatu masyarakat terhadap suatu system politik. Kehidupan politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Terhadap masalah politik setiap orang akan memberikan pendapat, pandangan, pengetahuan, sikap, perasaan dan penilaian yang berbeda, tergantung pribadi masing-masing.

B.     Pembahasan
1.      Pengertian Budaya Politik
            Untuk memahami tentang budaya politik, terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian budaya dan politik. Budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu budhayah, bentuk jamak dari budhi yang artinya akal, Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal atau budi. Kebudayaan adalah segala yang dihasilkan oleh manusia berdasarkan kemampuan akalnya. Ciri-ciri umum dari kebudayaan adalah dipelajari, diwariskan dan diteruskan, hidup dalam masyarakat, dikembangkan dan berubah, dan terintegrasi.
Beberapa pengertian tentang politik menurut beberapa ahli :
a.       Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari suatu sistem dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut.
b.      Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., sifat terpenting dari bidang politik adalah penggunaan kekuasaan (macht) oleh suatu golongan anggota masyarakat terhadap golongan lain. Pokoknya selalu ada kekuatan/kekuasaan.
c.       Joyce Mitchell, politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuat kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya.
            Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana jaman saat itu dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Artinya, budaya politik yang berkembang dalam suatu negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
            Budaya politik (kebudayaan politik) menurut Almond dan Verba merupakan dimensi psikologis dari sistem politik, maksudnya adalah budaya politik bukan lagi sebagai sebuah sistem normatif yang ada di luar masyarakat, melainkan kultur politik yang berkembang dan dipraktekkan oleh suatu masyarakat tertentu. Dalam setiap masyarakat terdapat budaya politik yang menggambarkan pandangan masyarakat tersebut mengenai proses politik yang berlangsung di lingkungannya. Tingkat kesadaran dan partisipasi mereka biasanya menjadi hal penting untuk mengukur kemajuan budaya politik yang berkembang.
2.      Budaya Politik yang Berkembang di Dalam Masyarakat Indonesia
            Menurut Aristoteles (384 – 322 M) manusia adalah zoon politicon atau manusia yang pada dasarnya selalu bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Manusia saling ketergantungan satu sama lain untuk mememnuhi kebutuhannya. Pada dasarnya anggota masyarakat saling terkait sebagai satu kesatuan sosial melalui perasaan solidaritas yang dikarenakan latar belakang sejarah, politik dan kebudayaan.
            Masyarakat politik adalah masyarakat yang sadar politik atau masyarakat yang keikutsetaan hidup bernegara menjadi penting dalam kehidupannya sebagai warga negara. Masyarakat politik yang terdiri dari elite politik dan massa politik menjadi peserta rutin dalam kompetisi politik harus dibangun sebagai komponen masyarakat yang mempunyai etika politik dalam demokrasi. Ciri-ciri masyarakat politik antara lain sebagai berikut :
a.       Dengan sadar dan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam pemilu terutama hak pilih aktif
b.      Bersifat kritis terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan sikap :
1)      menerima sebagaimana adanya
2)      menolak dengan alasan tertentu atau
3)      ada yang suka diam tanpa memberikan reaksi apa-apa
c.       Memiliki komitmen kuat terhadap partai politik yang menjadi pilihannya
d.      Dalam penyelesaian suatu masalah lebih suka dengan cara dialog atau musyawarah.
Budaya politik yang berkembang di setiap negara sangat beragam, hal ini di pengaruhi oleh karakter budaya politiknya masing-masing. Untuk mengetahui karakter budaya politik suatu bangsa dapat diukur melalui beberapa dimensi yang berkembang dalam masyarakat, yaitu :
a.       Tingkat pengetahuan umum yang dimiliki oleh masyarakat mengenai sistem politik negaranya, seperti pengetahuan tentang sejarah, letak geografis, dan konstitusi negaranya
b.      Pemahaman masyarakat mengenai struktur dan peran pemerintah dalam membuat suatu kebijakan
c.       Pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang meliputi masukan opini dari masyarakat dan media massa kepada pemerintah
d.      Partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik dan bernegara, serta pemahmanya akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab sebagai warga negara.
Perbedaan dimensi tersebut menurut Almond dan Verba melahirkan beberapa tipe budaya politik yang berkembang dalam negara, yaitu :
a.       Budaya Politik Parokial (parochial political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut diatas sangat rendah. Tidak ada peran-peran politik masyarakat yang bersifat khusus, sehingga peranan politik, baik yang bersifat politis, ekonomis, maupun religius sepenuhnya diserahkan kepada pengambil kebijakan/pemimpin yang biasanya dipegang oleh seorang kepada suku/adat, tokoh agama, ataupun tokoh masyarakat yang peranannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Cirri-ciri budaya politik parochial antara lain:
-          Apatis
-          Lingkupnya kecil dan sempit
-          Pengetahuan politik rendah
-          Masyarakat yang sederhana dan tradisional
-          Adanya ketidak pedulian dan juga menarik diri dari kehidupan politik
-          Anggota masyarakat condong tidak berminat terhadap objek politik yang luas
-          Kesadaran anggota masyarakat mengenai adanya pusat kewenangan dan kekuasaan dalam masyarakatnya rendah
-          Tidak ada peranan politik bersifat khusus
-          Warga Negara tidak sering berhadap dalam system politik
b.      Budaya Politik Subjek (subject political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap dimensi pengetahuan dan pemahaman cukup tinggi, tetapi masih bersifat pasif, artinya masyarakat sudah memiliki pengetahuan, pemahaman, namun mereka belum memiliki orientasi dimensi pemahaman mengenai penguatan kebijakan dan partisipasi dalam kegiatan politik, mereka tidak memiliki keinginan dan kemauan untuk mencoba menilai, menelaah, atau mengkritisi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, mereka menerima apa adanya, sehingga sikap masyarakat terhadap suatu kebijakan pemerintah terbagi menjadi dua kelompok, ada yang menerima atau menolak.
Cirri-ciri budaya politik subjek antara lain:
-          Masyarakat menyadari sepenuhnya otoritas pemerintah
-          Sedikit warga member masukan dan tuntutan kepada pemerintah namun dapat menerima apa yang berasal dari pemerintah
-          Menerima putusan yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dikoreksi terlebih terlebih lagi ditentang
-          Sikap warga sebagai actor politik adalah pesif, artinya warga tidak dapat berbuat untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik
-          Warga menaruh minat dan haraapan pada system politik secara umum dan khusus terhadap objek output, sedangkan untuk kesadarannya terhadap input dan kesadarannya sebagai actor politik masa depan
c.       Budaya Politik Partisipan (participan political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut diatas lebih baik, masyarakat mulai bersifat aktif dalam peran-peran politik, meskipun perasaan dan evaluasi masyarakat terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Cirri-ciri budaya politik partisipan antara lain:
-          Warga menyadari hak dan tanggung jawabnya dan dan dapat mempergunakan hak serta menanggung kewajibannya
-          Tidak begitu saja menerima keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin tetapi dapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik secara keseluruhan, input aotput, maupun posisi dirinya sendiri
-          Kehidupan politik sebagai sarana transaksi, misalnya penjual dan pembeli. Warga menerima menurut kesadarannya tetapi dapat menolak menurut penilaiannya sendiri
-          Menyadari sebagai warga Negara yang aktif dan berperaan sebagai aktifis
Budaya politik yang berkembang di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen. Kondisi masyarakat yang hetorogen selain dapat memberkaya berkembangnya budaya politik yang beragam, juga dapat menjadi suatu ancaman terhadap keutuhan bangsa. Untuk menghindari terjadi disintegrasi bangsa, perlu kiranya menanamkan nilai-nilai dasar yang dapat mengikatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, seperti toleransi, kekeluargaan, musyawarah mufakat, gotong royong, jaminan dan perlindungan hak asasi manusia. Yang terpenting dalam hal ini adalah bukan membicarkan perbedaan yang ada tetapi bagaimana menyatukan pendangan yang lebih menekankan pada kepentingan nasional.
Clifford Geerts, seorang antropolog berkebangsaan Amerika mengemukakan tentang tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia yaitu :
a.       Budaya Politik Abangan, yaitu budaya politik masyarakat yang lebih menekankan pada aspek-aspek animisme atau kepercayaan terhadap roh halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Ciri khas dari budaya politik abangan ini adalah tradisi selamatan, yang berkembang pada kelompok masyarakat petani pada era tahun 60-an, diyakini dapat mengusir roh-roh jahat yang mengganggu manusia. Kelompok masyarakat abangan sering kali berafiliasi dengan partai semacam PKI dan PNI.
b.      Budaya Politik Santri, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan pada aspek-aspek keagamaan, khususnya agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia. Kelompok masyarakat santri biasanya diidentikan dengan kelompok masyarakat yang sudah menjalankan ibadah atau ritual agama Islam. Pendidikan mereka ditempuh melalui pendidikan pesantren , madrasah, atau mesjid. Kelompok masyarakat santri biasanya memiliki jenis pekerjaan sebagai pedagang. Kelompok masyarakat santri pada masa lalu sering kali berafiliasi dengan partai NU atau Masyumi, namun pada masa sekarang mereka berafiliasi pada partai, seperti PKS, PKB, PPP, atau partai-partai lainnya yang menjadikan Islam sebagai dasarnya.
c.       Budaya Politik Priyayi, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan pada keluhuran tradisi. Kelompok priyayi sering kali dikontraskan dengan kelompok petani, dimana kelompok priyayi dianggap sebagai kelompok atas yang menempati pekerjaan sebagai birokrat (pegawai pemerintah). Pada masa lalu kelompok masyarakat priyayi berafiliasi dengan partai PNI, sekarang mereka berafiliasi dengan partai Golkar.
Dalam perkembangannya tipe-tipe budaya politik dalam masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkemabngan sistem politik yang berlaku.
3.      Budaya Politik yang Berkembang Di Indonesia Sebelum Reformasi
Sejak negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai era reformasi saat ini dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia, negara kita dalam menjalankan roda pemerintahan dengan menggunakan demokrasi dibagi dalam empat masa. Pertama, masa Repubik Indonesia I (1945-1959) atau yang lebih dikenal dengan era Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer. Kedua, masa Republik Indonesia II (1959-1965) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin. Ketiga, masa Republik Indonesia III (1965-1998) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Baru atau Demokrasi Pancasila. Dan yang terakhir yang berlaku sampai saat ini adalah masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) atau yang lebih dikenal dengan era Reformasi.
Dari masa-kemasa penerapan demokrasi selalu mengalami pasang surut dan budaya politik yang selalu berubah tergantung pada rezim yang berkuasa.
1.       Era Demokrasi Parlementer (1945-1950)
Budaya politik yang berkembang pada era Demokrasi Parlementer sangat beragam. Dengan tingginya partisipasi massa dalam menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan masyarakat telah berbudaya politik partisipan. Anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik yang timbul ketika itu (Rusadi Kantaprawira, 2006: 190). Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu.Para elite Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas (solidarity maker) lebih nampak dalam periode demokrasi parlementer ini. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators memegang peranan. Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar-elite mulai terjadi sejak terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan PRRI pada tahun 1958 (Rusadi Kantaprawira, 2006: 191). Selain itu, dengan gaya politik yang ideologis pada masing-masing partai politik menyebabkan tumbuhnya budaya paternalistik. Adanya ikatan dengan kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara ideologis mengakibatkan fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut ikatan primordial. Selain itu, orientasi pragmatis juga senantiasa mengiringi budaya poltik pada era ini.
2.      Era Demokrasi Terpimpin (Dimulai Pada 5 Juli 1959-1965)
Budaya politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai dengan sifat primordialisme seperti pada era sebelumnya. Ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Gagasan tersebut menjadi patokan bagi partai-partai yang berkembang pada era Demorasi Terpimpin. Dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan politik (Rusadi Kantaprawira, 2006: 196).
Selain itu, paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih subur di kalangan elit-elit politiknya. Adanya sifat kharismatik dan paternalistik yang tumbuh di kalangan elit politik dapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang bertikai, baik dengan sukarela maupun dengan paksaan. Dengan demikian muncul dialektika bahwa pihak yang kurang kemampuannya, yang tidak dapat menghimpun solidaritas di arena politik, akan tersingkir dari gelanggang politik. Sedangkan pihak yang lebih kuat akan merajai/menguasai arena politik.
Pengaturan soal-soal kemasyaraktan lebih cenderung dilakukan secara paksaan. Hal ini bisa dilihat dari adanya teror mental yang dilakukan kepada kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra revolusi ataupun kepada aliran-aliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai mutlak yang telah ditetapkan oleh penguasa (Rusadi Kantaprawira, 2006: 197).
Dari masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi berupa tuntutan yang diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas sistem yang ada. Namun, saluran inputnya dibatasi, yaitu hanya melalui Front Nasional. Input-input yang masuk melalui Front Nasional tersebut menghasilkan output yang berupa output simbolik melalui bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya menguntungkan rezim yang sedang berkuasa. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap memiliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan menujukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari rezim.
3.      Era Demokrasi Pancasila (Tahun 1966-1998)
Gaya politik yang didasarkan primordialisme pada era Orde Baru sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada era ini secara material, penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern (Rusadi Kantaprawira, 2006: 200). Sementara itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit politik karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Kultur ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era ini. Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern maupun ekstern adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas.
Dari penjelasan diatas, mengindikasikan bahwa budaya politik yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek. Dimana semua keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah pemerintahan otoriterianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer. Di masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya civil societyterhambat.  Contoh budaya politik Neo Patrimonialistik adalah :
a.        Proyek di pegang pejabat.
b.      Promosi jabatan tidak melalui prosedur yang berlaku (surat sakti).
c.       Anak pejabat menjadi pengusaha besar, memanfaatkan kekuasaan orang tuanya dan mendapatkan perlakuan istimewa.
d.       Anak pejabat memegang posisi strategis baik di pemerintahan maupun politik.


4.      Budaya Politik yang Diterapkan Indonesia Pada Era Reformasi
           Sebelum membahas tentang budaya politik di era Reformasi kita harus tahu apa makna reformasi dan penyebab terjadinya reformasi Indonesia (1997-1998). Reformasi memiliki makna suatu gerakan untuk memformat ulang,  menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Namun, makna reformasi banyak disalah artikan sehingga gerakan masyarakat yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga tidak sesuai dengan gerakan reformasi itu sendiri. Hal ini terbukti dengan maraknya gerakan masyarakat dengan mengatasnamakan gerakan reformasi, melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan makna reformasi itu sendiri.
           Pergerakan Reformasi yang dicetuskan pada era 1997-1998 memang telah mengubah hampir seluruh aspek dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia Sistem Politik, pemerintahan, ekonomi, bahkan pendidikan mengalami perubahan yang cukup fundamental sejak pergerakan yang mampu mengakhiri eksistensi rezim Soeharto tersebut menegaskan diri di Indonesia. Dengan perubahan-perubahan tersebut, mencuatlah harapan dan keinginan dari semua pihak untuk memajukan (kembali) kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh para founding fathers kita dalam Mukadimah UUD 1945. Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada sistem pemerintahan. Kita ketahui, sistem pemerintahan Indonesia selalu mengalami dinamika dan perubahan-perubahan yang kemudian mengubah substansi dari fungsi pemerintahan itu sendiri. Pada periode 1949-1950, Indonesia memberlakukan sistem republik federal yang pada perkembangannya hanya menjadi alat bagi pihak asing untuk menumbuhkan benih-benih separatisme. Kemudian, Indonesia memberlakukan sistem politik demokrasi liberal dan sistem kabinet parlementer. Sistem ini terbukti juga tidak berjalan optimal karena adanya friksi dan pertentangan antarfaksi di parlemen.
           Pertentangan yang jelas terlihat pada PNI yang berideologi marhaen, PSI yang berideologi sosial-demokrat, PKI yang berideologi sosial-komunis, dan Masyumi yang berideologi Islam. Akan tetapi, keadaan tersebut semakin diperparah oleh sikap Presiden Soekarno yang mendeklarasikan diri sebagai dktator melalui dekrit 5 Juli 1959. Alhasil, Demokrasi terpimpin dengan jargon-jargon seperti Manifesto Politik Indonesia (Manipol), UUD ’45, Sosialisme, Demokrasi (Usdek), dan Nasionalisme, Agama, Komunisme (Nasakom) berkuasa sampai G30S/PKI menumbangkan kekuasaan tersebut.
           Pada era orde baru, sistem pemerintahan presidensil yang ketat di satu sisi dapat membawa stabilitas politik di Indonesia. Akan tetapi, tindakan Soeharto di pertengahan masa jabatannya ternyata tidak jauh berbeda dengan Soekarno, hanya ingin berkuasa dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Doktrin P4 dan Asas tunggal Pancasila diberlakukan. Hasilnya, HMI harus mengalami perpecahan menjadi PB HMI yang menerima asas tunggal dan HMI MPO yang menolak. PII yang merupakan “adik” HMI dengan tegas menolak asas tunggal dan akhirnya menjadi organisasi bawah tanah.
Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama adanya ketidakadilan di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen terhadap tekad awal Orde Baru. Tekad awal Orde Baru pada saat munculnya adalah melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setelah Orde Baru mengendalikan pemerintahan, maka muncul suatu keinginan untuk terus-menerus mempertahankan kekuasaannya. Hal ini menimbulkan dampak negatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Penyelewengan yang dilakukan selalu direkayasa sehingga hal tersebut seolah-olah sah dan benar, walaupun merugikan rakyat. Krisis terjadi disegala bidang pada masa orde baru, antara lain:
1.      Krisis politik, Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Kedaulatan rakyat berada di tangan kelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang oleh para penguasa. Pada UUD 1945 pasal 2 telah disebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Namun pada dasarnya secara de jure kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan oleh MPR sebagai wakil-wakil rakyat, tetapi secara de facto anggota MPR sudah diatur dan direkayasa. Sebagian anggota DPR itu diangkat berdasarkan hubungan kekeluargaan (nepotisme), misalnya istri, anak, atau kerabat dekat para pejabat tinggi. Oleh karena itu, keputusan DPR/MPR dapat diatur oleh pihak penguasa.
2.      Krisis Hukum, Pada masa pemerintahan Orde Baru banyak terjadi ketidakadilan di bidang hukum. Misalnya pada pasal 24 UUD 1945 dinyatakan bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah. Namun pada kenyataannya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, lembaga pengadilan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, karena hakim-hakim harus melayani kehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah. Selain itu, sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa dan kerabatnya. Sejak munculnya gelombang reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Dimana masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum, tujuannya agar hukum didudukkan pada posisi yang sebenarnya.
3.      Krisis Ekonomi, Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga memengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisis global tersebut. Krisis ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997 nilai tukar rupiah turun dari Rp2.575,00 menjadi Rp2.603,00 per dolar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 11997, ternyata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mencapai Rp.5.000,00. Bahkan pada bulan Maret 1998 telah mencapai Rp.16.000,00 per dolar Amerika Serikat. Memasuki tahun anggaran 1998/1999, krisis moneter telah memengaruhi aktivitas ekonomi yang lainnya. Perusahaan-perusahaan banyak yang tidak mampu membayar utang luar negerinya yang telah jatuh tempo. Bahkan banyak terdapat perusahaan yang mengurangi atau menghentikan sama sekali kegiatannya, akibatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat. Angka pengangguran meningkat, sehingga daya beli dan kualitas hidup masyarakat pun semakin bertambah rendah. Akibatnya, kesenjangan ekonomi yang telah terjadi sebelumnya semakin tampak jelas setelah berlangsungnya krisis ekonomi tersebut.
4.      Krisis Kepercayaan, Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto. Aksi unjuk rasa damai yang dilakukan oleh kalangan intelektual dan kelompok oposisi pada bulan Maret 1998 semakin berani menyampaikan tuntutannya. Mereka menuntut dilakukannya reformasi total, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun hukum. Bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan juga tidak dapat dihindari sehingga timbul kerugian diantara kedua belah pihak.
Tumbangnya orde baru memberikan dampak yang cukup baik bagi perkembangan budaya politik negara Indonesia. Pada era reformasi, dengan adanya amandemen UUD 1945 pengembangan kelembagaan negara terutama eksekutif dan legislatif dikembangkan dalam posisi yang sama kuat. Hal ini dikembangkan dalam rangka untuk mewujudkan adanya chek and balance. Kemudian melalui amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung melalui pemilu. Terdapat lembaga yudikatif yang terdiri dari mahkamah konstitusi, mahkamah agung, dan komisi yudisial. Jaminan terhadap HAM lebih diapresiasi dengan adanya Komnas HAM. Proses demokrasi juga semakin berkembang dengan adanya pilkada langsung. Akan tetapi dalam perkembangannya kelembagaan negara baik eksekutif maupun legislatif masih terlihat mementingkan kepentingan kelompok bila dibandingkan dengan kepentingan untuk mensejahterakan rakyatnya. Hal inilah yang nampaknya mendorong berkembangnya tipe budaya politik partisipan untuk mengimbangi kebijakan publik yang kurang berorientasi pada kepentingan rakyat. Tipe budaya politik parokial dan tipe budaya politik subyek secara dominan berkembang pada masa sebelum era reformasi mulai bergeser ke arah berkembangnya tipe budaya politik partisipan. Hal ini dibuktikan dengan tindakan masyarakat yang memberikan input terhadap berbagai macam RUU. Seperti input masyarakat terhadap RUU keistimewaan Yogyakarta. Begitu pula berbagai kritik, protes terhadap kebijakan pemerintah ketika menaikkan BBM, impor beras, dsb.
Setelah era reformasi memang orang menyebut Indonesia telah menggunakan budaya Politik partisipan karena telah bebasnya Demokrasi, partisipatifnya masyarakat dan tidak tunduk akan keputusan atau kinerja pemerintah baru aetika . perlu diketahui ketika era orde baru Demokrasi dikekang. Segala bentuk media dikontrol/diawasi oleh pemerintah lewat Departemen Penerangan supaya tidak mempublikasikan kebobrokan pemerintah.
Budaya politik Indonesia selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Tetapi berubahnya itu hanya terjadi pada daerah perkotaan dan pedesaan yang telah maju tetapi pada daerah-daerah terpencil itu tidak terjadi perubahan karena kurangnya pendidikan dan informasi.
Budaya Politik Indonesia pada era reformasi hingga saat ini adalah Campuran dari Parokial, Kaula, dan Partisipan, dari segi budaya Politik Partisipan, Semua ciri-cirinya telah terjadi di Indonesia dan ciri-ciri budaya politik Parokial juga ada yang memenuhi yaitu  seperti berlangsungnya pada masyarakat tradisional dan pada budaya politik kaula ada yang memenuhi seperti warga menyadari sepenuhnya otoritas pemerintah. 


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Dari beberapa hal yang telah di sampaikan diatas, maka diambil kesimpulan:
1.      Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana jaman saat itu dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri.
2.      Menurut almond dan verba budaya politik yang berkembang dimasyarakat adalah budaya politik parochial, budaya politik kaula/subjek dan budaya politik partisipan
3.      Menurut Clifford Geerts, budaya politik yang berkembang di masyarakat Indonesia berdasarkan kondisi masyarakat yang heterogen adalah budaya polotik abangan, budaya politik santri dan budaya politik priyayi
4.      Budaya politik yang diterapkan pada masa orde lama sampai orde baru lebih mengarah pada budaya politik parochial dan budaya politik kaula/subjek.
5.      Pada era reformasi Indonesia menerapkan budaya politik campuran, yaitu budaya politik parochial,  budaya politik kaula/subjek dan budaya politik partisipan.

B.     Saran
            Masyarakat harus selalu menjaga partisipasi politiknya di era reformasi ini, serta bisa bertanggungjawab terhadap hak dan kewajiban sebagai objek dari sebuah Negara.
           


DAFTAR PUSTAKA

Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr., Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH Publishing Co, 1976Anderson, Benedict, 
Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cetakan ke X.
Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990. 
http://gshk.blogspot.co.id/2010/04/teori-budaya-politik.html
http://pknhprimordia2012.blogspot.co.id/p/materi-pembelajaran.html
http://lilyistigfaiyah.blogspot.com/2013/03/faktor-penyebab-munculnya-reformasi.html

Winarno, Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Comments