BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Indonesia
adalah Negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, budaya, ras dan
agama. Indonesia juga disebut sebagai Negara dengan masyarakat majemuk atau
miltikultural. Kondisi masyarakat yang seperti ini jika berjalan serasi dan
harmonis akan menciptakan integrasi sosial, tetapi jika tidak maka akan terjadi
disintegrasi sosial atau konflik sosial. Masyarakat Indonesia sudah seharusnya
menjadi masyarakat yang bersatu dan saling tolong-menolong sebagaimana simbol
Negara yaitu “bhineka tunggal ika” yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi
tetap satu jua.
Namun, masih saja
sering terjadi konflik sosial yang disebabkan oleh sikap primordial yang
berlebihan dan stereotip etnik.
Menanggapi masalah
tersebut sudah semestinya sebagai warga Negara yang penuh perbedaan untuk
bersikap rukun dan saling menghargai satu sama lain, baik dari suku, bangsa,
agama dan sebagainya.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Pengertian
primordialisme ?
2. Bagaimana
Dampak primordialisme ?
3. Apa
Konsep kerukunan antar umat beragama ?
4. Memudarnya
kerukunan antar umat beragama.
5. Apa
saja Langkah-langkah yang dilakukan untuk meningkatkan kerukunan beragama ?
1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan
makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas salah satu tugas mata kuliah
Sosiologi Agama serta untuk menambah wawasan dan ilmu kami tentang
primordialisme dan memudarnya kerukunan antar umat beragama.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Primordialisme
Primordialisme adalah paham atau ide dari anggota
masyarakat yang mempunyai kecenderungan untuk
berkelompok sehingga terbentuklah suku-suku bangsa. Pengelompokan
tersebut tidak hanya dalam pembentukan suku bangsa saja, tetapi dapat juga di
bidang lain, misalnya pegelompokan berdasarkan ideology agama dan kepercayaan.
Primordialisme dalam sosiologi digunakan untuk menggambarkan adanya
ikatan-ikatan seseorang dalam kehidupan sosial dengan hal-hal yang dibawa sejak
awal kelahirannya, seperti suku bangsa, daerah kelahirannya, ikatan klan, dan
agama. Primordialisme merupakan sebuah istilah yang berlebihan. Terlalu
membanggakan suku atau rasnya sehingga sering terkesan meremehkan suku atau ras
lainnya. primordialisme juga merupakan sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak
kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu
yang ada di dalam lingkungan pertamanya.
Secara etimologi primordial atau primordialisme
berasal dari kata bahasa latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang
artinya tenunan atau ikatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Primordialisme adalah perasaan kesukuan yang berlebihan. Ikatan seseorang pada
kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi
akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap
primordialmemiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi
lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap
etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subjektif dalam
memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain
dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah
tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging
(internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenerung dipertahankan
bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.
Terdapat
dua jenis etnosentris yaitu:
1.
Etnosentris infleksibel yakni suatu
sikap yang bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang
lain,
2.
Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap
yang cenderung menilai tinkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut
pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain.
Tidak
selamanya primordial merupakan tindakan salah. Akan tetapi bisa saja dinilai
sebagai sesuatu yang mesti dipertahankan. Dalam sudut pandang ajaran (ritual)
misalnya. Pelaku primordialisme merupakan unsure terpenting saat memberlakukan
ajaran intinya.
Latar
belakang sebab-sebab timbulnya primordialisme antara lain:
a. Adanya
sesuatu yang dianggap istimewa pada ras, suku bangsa, daerah asal, dan agama
b. Ingin
mempertahaankan keutuhan kelompok atau komunitasnya dari ancaman luar. Kelompok
yang dimaksud dapat kelompok ras, etnik daerah asal, dan agama
c. Adanya
nilai-nilai yang dijunjung tinggi karena berkaitan dengan system keyakinan,
misalnya nilai keagamaan dan falsafah hidup di dalamnya.
2.2 Dampak Primordialisme
Primordialisme merupakan factor penting untuk
memperkuat ikatan kelompok kebudayaan yang bersangkutan ketika ada ancaman dari
luar kelompok kebudayaan kelompok tersebut. Namum, disisi lain primordialisme
dipandang sangat negative karena mengganggu kelangsungan hidup suatu bangsa.
Primordialisme sering dianggap bersifat primitive. Bahkan, primordialisme akan
menghambat modernisasi, proses pembangunan dan merusak integrasi nasional.
Akibat kuatnya primordialisme akan dapat memicu potensi konflik antara
kebudayaan suku-suku bangsa yang ada. Dengan demikian, primordialisme dapat
berdampak negative.
Dampak negative primordialisme antara lain:
a.
Menghambat hubungan antar bangsa
b.
Menghambat proses asimilasi dan
integrasi
c.
Mengurangi bahkan menghilangkan
objektifitas ilmu pengetahuan
d.
Penyebab terjadinya diskriminasi
e.
Merupakan kekuatan terpendam terjadinya
konflik antar kebudayaan suku-suku bangsa.
Selain
berdampak negative, primordialisme juga berdampak positif. Berikut dampak
positif tersebut:
a.
Meneguhkan cinta tanah air
b.
Mempertinggi kesetiaan terhadap bangsa
c.
Mempertinggi semangat patriotism
d. Menjaga
keutuhan dan kestabilan budaya.
2.3 Konsep Kerukunan Antar Umat Beragama
Sejarah konflik atas nama agama
memang bukan baru-baru ini terjadi. Konflik ini telah terjadi beberapa abad
sebelum masehi. Satu sama lain saling 'memeras'
rasa balas dendam, setelah merasa menang, yang kalahlah bergantian 'memeras'
dendam sepertinya, terus-menerus silih berganti. Dan, itu sangat sulit untuk
dihentikan bila tidak ada konsep yang menengahinya. Masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang majemuk dan universal yang terdiri dari beberapa agama.
Kemajemukan yang ditandai dengan keanekaragaman suku, ras dan agama itu, oleh
karenanya sangat mungkin berpotensi terjadinya konflik di antara masyarakat
Indonesia. Termasuk, konflik antarumat beragama.
Maka dari itu, untuk mewujudkan kerukunan antar-umat beragama,
sangat dibutuhkan suatu konsep, model ataupun teori yang dapat mengikat umat
semua agama. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik atau pelecehan yang
kesemuanya 'berbau' agama. Berikut ini sebagian dari konsep yang dapat saya
jelaskan, Pancasila sebagai dasar ideologi dan falsafah negara merupakan konsep
pluralisme yang ideal bagi masyarakat Indonesia.
Dalam Pancasila terdapat setidaknya dua panca yang bisa digunakan
sebagai konsep pengikat kerukunan antara umat beragama.
Pertama,
Ketuhanan yang Maha Esa, merupakan konsep yang melindungi umat agama di
Indonesia, karena konsep ini mengakui adanya kepercayaan satu Tuhan
(Monotheisme) dan sekaligus menolak kepercayaan-kepercayaan Atheis (tidak
percaya adanya Tuhan).
Kedua, Persatuan Indonesia, Indonesia sebagai negara dengan
beberapa suku dan agama di dalamnya, sangat membutuhkan adanya konsep ini,
yaitu Persatuan Indonesia sebagai salah satu dasar negara, berupaya
menyadarakan akan pentingnya 'bhineka tunggal ika' karena kemajemukan agama,
ras dan suku dalam masyarakat ini, harus disatukan dengan sebuah persatuan
yaitu kesadaran bahwa masyarakat semuanya adalah rakyat Indonesia.
Kemajemukan masyarakat Indonesia membuat Indonesia sangat mudah
terjadi konflik, baik antara suku ataupun umat beragama sebangsa. Maka dari
itu, bila saja masyarakat sadar akan panca ketiga ini, bukan tidak mungkin
kerukunan antara umat beragama dapat terlaksanakan. Karena masyarakat akan
merasa bahwa semuanya adalah rakyat Indonesia, walaupun berbeda agama
sekalipun.
Sayangnya, dalam satu dasawarsa belakangan ini, Pancasila seakan
kehilangan tempat di hati setiap masyarakat Indonesia. Dari sinilah mungkin
perlunya kita untuk membumikan Pancasila.
Laicite
adalah konsep sekularisme ala Prancis yang dianggap ideal guna menciptakan
kerukunan beragama. konsep ini memisahkan urusan agama dan negara. Dari data
yang masyhur, Leicite lahir dari sebuah konflik antara kaum gerejawi dengan
kaum nasionalis yang menolak keberadaan agama dalam politik.
Dalam Laicite termaktub bahwa negara tidak meyakini dan mendukung
keberadaan bentuk agama dan kepercayaan apa pun. Akan tetapi, negara menjamin
kebebasan beragama, termasuk segala sesuatu yang ada di dalamnya. Arti
singkatnya, negara menjamin kebebasan beragama bukan karena adanya agama
tersebut, akan tetapi karena negara tersebut memang seharusnya menjamin dan
memelihara kebebasan beragama, sebagaimana yang terdapat pada Laicite atau
undang-undang Prancis.
Perbedaan
pandangan dalam satu agama bisa menyebabkan konflik dalam agama tersebut, baik
dalam soal pandangan ketuhanan, hukum dan lain sebagainya. Bila dalam satu
agama saja dapat terjadi konflik, apalagi dalam hubungan antara agama?
Konsep
ini bisa menjadi sarana untuk upaya kerukunan antar-umat beragama tersebut,
konsep ini menawarkan beberapa cara agar tidak saling berselisih. Kita memang
berhak mengklaim kebenaran agama yang kita yakini, tapi keyakinan kita tidak
boleh menutup kita untuk tetap menghargai orang yang berkeyakinan agamanya
paling benar.
Terjadinya
konflik kadang disebabkan salingnya mencurigai antar-umat beragama, dan sikap
saling mencurigai terkadang muncul dari jarangnya bersosialisasi antar-umat
beragama. konsep ini mengupayakan adanya saling bersosialisasi dengan umat
agama yang lainnya. Dengan adanya sosialisasi tersebut maka diharapkan kita
akan saling terbuka dalam masalah duniawi.
Semakin
hari, pemeluk agama semakin merasakan bahwa hubungan mesra dengan pemeluk agama
yang lain merupakan suatu hal yang mendesak untuk dilakukan. Maka, dialog dan
bersosialisasi merupakan suatu unsur penting yang harus ada.
Pastinya
setiap agama tidak ada yang melarang umatnya untuk tetap bersosialisasi dan
berkomunikasi dalam urusan duniawi dengan orang-orang di luar agamanya. Mungkin
ini merupakan upaya dari agama-agama untuk tetap menjaga kerukunan antara
agama.
Menjadikan
konsep-konsep atau teori-teori sebagai satu solusi, merupakan suatu hal
efektif, mengingat selamanya ini selalu mencari jalan keluar tanpa terkonsep
secara nyata dan rapi. Sesungguhnya semua konsep tersebut mempunyai inti pokok
yang sama, yaitu upaya menjadikan masyarakat pengasih dan penyayang, tidak
hanya kepada sesama agamanya, akan tetapi juga pada masyarakat yang berlainan
keyakinan.
Dan, kerukunan sejati
yang abadi, hanya mungkin dicapai bila setiap umat menjadikan tabiat Allah,
yakni pengasih lagi penyayang, sebagai inti ajaran etika agamanya.
2.4 Memudarnya Kerukunan Antar Umat Beragama
Primordialisme beragama adalah seseorang yang mempercayai atau
berpegang teguh pada agamanya sendiri dan cenderung fanatic.
2.5 langkah-langkah yang dilakukan untuk
meningkatkan kerukunan beragama
1.
Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama,
serta antar umat beragama dengan pemerintah.
2. Membangun harmoni sosial
dan persatuann nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh
umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan implementasi dlm
menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.
3.
Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka
memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengalaman agama yang
mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup internal dan dan antar umat beragama.
4.
Melakukan eksploitasi secara luas tentang penting nya nilai-nilai
kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia yang fungsinya dijadikan
sebagai pedoman bersama dalam melaksanakan prinsiip-peinsip berpolitik dan
berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap
keteladanan.
5.
Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi
kemanusiaaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai ketuhanan, agar tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial
keagamaan.
6.
Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan
cara menghilangkan rasa salaing curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga
akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengartuhi oleh
factor-faktor tertentu.
7.
Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan
bermasyrakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah
fenomena kehidupan beragama.
Comments
Post a Comment